Posted by : Debsky
Sabtu, 14 September 2019
Kedua orangtuanya berasal dari golongan yang berbeda. Ayahnya keturunan rakyat biasa dari Yamaguchi-ken yang memiliki sifat pemarah tetapi, ia seorang pekerja keras dan tekun yang berhasil memiliki perusahaan sapi sendiri di Irifune-cho. Ibunya keturunan bangsawan yang berasal dari Tokyo. Ia adalah seorang yang lembut, berbadan langsing, dan cantik. Hidup bersama suaminya adalah hal yang sulit baginya, selain karena Nihara Toshizo memiliki sifat yang keras, keluarga besar Akutagawa selalu menganggapnya sebagai orang rendahan.
Akutagawa hampir tidak pernah mengenal ibu kandungnya karena delapan bulan setelah lahir, Fuku menjadi seorang penderita sakit ingatan. Sehingga saat itu perawatan Akutagawa diserahkan kepada saudara laki-laki Fuku yang bernama Akutagawa Michiaki dan istrinya yang bernama Tomo yang selama hidupnya tidak dikaruniai anak. Di dalam keluarga Michiaki tinggal pula seorang saudara perempuannya yang tak pernah menikah bernama Fuki.
Akutagawa tumbuh menjadi anak yang mudah sakit, sensitive, tetapi memiliki daya tangkap yang cerdas. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga angkat yang sangat menyukai kebudayaan dan kesusastraan zaman Edo. Hidup bersama keluarga angkat bukanlah hal yang mudah bagi Akutagawa. Ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan keluarga Akutagawa yang masih memegang teguh adat budaya Edo yang berbeda jauh dengan lingkungan keluarganya. Ayah angkat Akutagawa seorang pensiunan dinas pekerjaan umum yang membuka usaha kecil mendirikan bank kecil di Tokyo, tetapi usaha itu mengalami kebangkrutan. Karakter Michiaki sangat berbeda dengan karakter ayah kandung Akutagawa. Ia seorang yang terpandang, sopan, dan selalu ada senyum di sela pembicaraannya. Kegemarannya bermain go ( 碁 ), membuat haiku ( 俳句 ), melukis dan mengukir. Sedangkan istrinya yang bernama Tomo adalah kemenakan Kooi Hosoku yang terkenal sebagai orang yang luas pergaulannya pada akhir pemerintahan Edo. Ia seorang yang baik hati dan halus bila berbicara. Kehidupan rumahtangga mereka hampir tak pernah disentuh oleh kebudayaan Barat. Di rumah, ia dan istri selalu mengenakan pakaian khas Jepang. Keluarga ini adalah keluarga yang mencintai lukisan, tumbuh-tumbuhan, dan kesusastraan zaman Edo, yang diciptakan penulis-penulis seperti Matsunaga Teitoku dan Matsuo Basho. Seluruh anggota keluarga yang sangat memahami saat tradisional Michiaki, kadang-kadang berlatih drama atau puisi,dan juga menyaksikan Kabuki. Lemari buku milik keluarga penuh diisi dengan buku-buku Cina klasik dan Jepang klasik terutama buku-buku cerita popular zaman Edo. Buku favorit Akutagawa adalah novel Cina terkenal yaitu Saiyuuki ( 西遊記 ) dan Suikoden, mengagumi sastrawan Edo, Takizawa Bakin dengan karyanya Nansosatomi Hakkenden ( 南総里見八犬伝 ).
April 1897 (30 Meiji) ketika berumur lima tahun, Akutagawa sekolah di TK yang terletak di SD Koto di Motomachi dekat kuil Ekoin, Tokyo. Sejak TK sudah terlihat dari tingkah laku dan cara bicara, ada kecerdasan dan kepintaran dalam diri Akutagawa dan sejak itu pula ia sering mengikuti acara-acara yang diadakan di sekolahnya. Sementara itu ayah kandung Akutagawa menikah untuk kedua kalinya dengan Akutagawa Fuyu, adik Fuku (ibu kandung Akutagawa) karena Fuku tak kunjung sembuh dari penyakitnya.
Pada bulan Mei 1898 (31 Meiji) di umur enam tahun ia masuk ke SD Koto Primary School. Sejak duduk di SD, Akutagawa telah menunjukkan kretaivitas di bidang sastra.
April 1902 (35 Meiji) ia dengan teman-temannya mulai menerbitkan majalah kecil yang diedarkan antara keluarga dan teman-teman sekolahnya yang bernama Hinodekai (日の出界) .
28 November 1902, ibunya, Fuku, meninggal dunia. Hal ini menyebabkan Akutagawa terguncang karena sejak bayi dia sudah merasa terbuang dari keluarganya dan tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, umurnya pun belum cukup untuk menghadapi kejadian ini.
Akutagawa diangkat menjadi anak pada bulan Agustus 1904 (37 Meiji), dua tahun setelah ibu kandungnya meninggal. Akutagawa secara resmi diangkat menjadi anak dan masuk daftar keluarga Akutagawa, dan namanya berubah dari Niihara Ryunosuke menjadi Akutagawa Ryunosuke. Masalah adopsi ini menyebabkan terjadinya konflik yang sangat hebat antara Niihara Toshizo dengan Akutagawa Michiaki, karena Toshizo ingin Akutagawa kembali padanya. Walau namanya berubah, Akutagawa merasa dirinya masih keluarga Niihara dan masih menghormati Toshizo sebagai ayah, bahkan dia masih selalu menengok orangtua kandungnya. Akibatnya dia selalu merasa asing akan dirinya sendiri, dan jiwanya selalu dalam keadaan goyah. Dengan diangkatnya Akutagawa sebagai anggota anak di keluarga Akutagawa yang merupakan anak satu-satunya, segala sesuatunya tercurahkan kepada Akutagawa baik dalam segi kasih sayang, pendidikan maupun kesusastraan. Akan tetapi, dalam hal kasih sayang, ia merasa tidak puas, karena ia tidak merasakan kasih sayang orangtua kandung yang sesungguhnya. Seiring dengan berjalannya waktu, ayah kandung Akutagawa lama kelamaan setuju dengan pengadopsian itu, karena ia sendiri telah memiliki seorang anaka bernama Niihara Tokuji hasi perkawinannya dengan istri keduanya yang akan menerusakan namanya.
Ryūnosuke Akutagawa sebagai karakter dalam game Bungo to Alchemist
Bulan Maret 1905 ( 38 Meiji) pada umur 13 tahun ia tamat SD Koto. Masa SD dilalui dengan sangat cemerlang, karena kepandaian dan keaktifannya. Pada bulan April tahun yang sama ia masuk ke SMP 3 Tokyo. Di antara teman-teman sekelasnya terdapat Ishikawa Eijiro dan Yamamoto Kyoshi. Di antara teman-teman sekelasnya yang paling akrab dan memberikan pengaruh pada Akutagawa adalah Ishikawa Eijiro. Tentang temannya ini, ia pernah berkata, “Saya mendapat perkembangan jiwa karena saya sekelas dengan Ishikawa dan kepintarannya tak bisa dibandingkan dengan saya.” Di sekolahnya Akutagawa disukai oleh para guru dan teman-temannya karena kepandaiannya. Gurunya Hirose Isamu mengatakan bahwa Akutagawa tak hanya disukai oleh guru-guru di kelas, tapi juga sangat dihormati karena kualitas belajarnya sangat bagus, sehingga nilai-nilainya selalu yang terbaik, terutama nilai-nilai pelajaran Kanbun, Sejarah, dan Bahasa Inggris. Sehingga ia tidak pernah ada di bawah rangking pertama.
April 1906 ( 39 Meiji ) bekerjasama dengan Ooshima Toshio dan Nobuchi Shinzo, Akutagawa mulai menerbitkan majalah sekolah bernama Ryusei ( 流星 ) yang kemudian hari majalah tersebut berganti nama menjadi Sakko ( 曙光 ). Di majalah ini Akutagawa menulis Ninengo No Sensoo ( 二年後 戦争 ).
Februari 1907 ( 41 Meiji ) Akutagawa dan teman-temannya membuat majalah sekolah bernama Aicho (碧 潮 ). Di majalah tersebut Akutagawa menulis cerpen Wagahaiwa Inu De Aru (吾輩は犬である ). Selain itu ketika kelas 1 SMP, ia mengarang Kanpishi Wo Yomu (韓子 を 読む ) dan Yuki (雪 ). Ia pun mulai menekuni hasil-hasil karya Natsume Soseki dan Mori Oogai. Ia juga membaca hasil karya Kunikida Doppo, Tayama Katai, Tokutomi Roka, dan Izumi Kyoka. Akutagawa juga mulai membaca buku sastra barat yang diperoleh dari gurunya Hirose Isamu. Diantaranya ia telah membaca The Doll’s House, John Gabriel Borkman, dan The Lady From The Sea. Akutagawa pun sangat menikmati perjalanan yang dilakukan bersama teman-temannya. Misalnya, pada bulan Juli ia pergi ke daerah Shimano bersama Ishikawa Eijiro. Ini dicatat di buku harian dengan kalimat-kalimat yang indah.
Tahun 1908 di musim panas, ia eprgi ke gunung Yarigatake dan ia menulis satu catatan yang berjudul Yarigatake Ni Nobottaki ( 槍々岳に登った記 ). Selain itu ia membuat catatan darmawisata Nikkoshohin (日光小品). Di antara karangan Akutagawa yang ditulis semasa SMP, yang terbaik ialah waktu ia duduk di kelas 4 SMP yaitu Yoshi Nakaron ( 義仲論 ) yang dimuat di majalah Gakuyukai. Di dalam karangan ini ditulis bahwa " Hidupnya adalah kegagalan, riwayatnya adalah riwayat hambatan, kehidupan adalah tidak bahagia."
Maret 1910 ( 43 Meiji ), Ia tamat SMP 3 Tokyo. Ia menyelesaikan SMP lima tahun. Karena ia pernah sakit keras, maka kenaikannya tertunda satu tahun. Ketika tamat SMP, ia mendapat penghargaan sebagai bintang pelajar. Karena prestasinya yang bagus, maka pada bulan September ia masuk SMA 1 tanpa mengikuti testing. Akutagawa mengambil pilihan utama jurusan ilmu sastra. Karena sejak kecil ia banyak mengenal dan mempelajari sastra dari orangtua angkat dan bibinya yang bergitu senang akan sastra. Ia pun memiliki banyak pengetahuan dan dorongan mengenai sastra ini dari teman-temannya. Alasan lain memilih jurusan sastra karena nanti di universitas ia bermaksud mempelajari sastra Inggris secara khusus. Di antara teman-teman di sekelasnya di SMA terdapat nama-nama yang di kemudian hari menjadi sastrawan terkenal seperti Kikuchi Kan, Kume Masao, Fujimori Seikichi, dan Matsuoka Yuzuru. Ketika di SMA persahabatan paling lama yang pernah dijalinnya yaitu dengan Tsuneto Kyo. Tapi sayang sekali, prestasi Tsuneto Kyo terhambat, karena sakit yang begitu lama sehingga ia harus tinggal kelas. Mereka banyak menghabiskan waktu bersama, diantaranya menguunjungi pertunjukan konser dan membahas filsafat. Ia banyak membaca buku-buku filsafat karya Benson dan Eucken. Pengetahuan kesusastraannya pun semakin luas dan bertambah. Ia membaca karya-karya sastrawan Eropa seperti Balzac, Tolstoy, Poe, dan Dotoyevsky. Sehingga temannya, Kikuchi Kan, pernah mengatakan bahwa Akutagawa adalah seorang murid penyendiri dengan buku selalu ada di tangannya. Ia adalah seorang kutu buku terbaik yang ada di generasinya.
Tahun 1911 ( 41 Meiji ) Akutagawa masuk asrama SMA 1 di Hongo karena peraturan sekolah yang mengharuskan tinggal di asrama selama tahun pertama dan kedua. Tahun pertama Akutagawa diizinkan untuk tinggal di rumahnya, tapi di tahun kedua ia diwajibkan untuk tinggal di asrama. Bagi kebanyakan anak-anak muda, tinggal di asrama adalah saat-saat yang menyenangkan. Mereka bisa berbuat apa saja yang diinginkannya.Tetapi, Akutagawa berbeda. Ia tidak seperti kebanyakan teman-temannya, ia tidak begitu menikmati saat-saat bebas ini. Ia tidak menyukai keributan dan terlalu pilih-pilih untuk bisa menerima keceriaan teman-temannya yang memiliki sikap acuh tak acuh. Bila hari satu dan Minggu, ia pulang ke rumah orangtua angkatnya.
Pertengahan Agustus 1912 ( 45 Meiji ), ketika duduk di kelas 3 SMA, ia pergi berlibur ke daerah Kiso dan Nagoya. Di sana ia mencoba menggolongkan dongeng-dongeng makhluk halus yang diketahuinya melalui buku atau yang didengar dari melalui orangtua angkatnya, dan terciptalah suatu catatan berjudul Shotoshi.
Juli 1913 ( 2 Taisho ), ketika berusia 21 tahun, ia lulus SMA dengan menduduki peringkat pertama dari 27 orang. September tahun yang sama, ia masuk Tokyo Imperial University ( Tokyo Teikoku Daigaku ) mengambil jurusan bahasa Inggris. Ia memilih sastra Inggris karena minatnya terhadap sastra sangat besar. Dorongan untuk menjadi sastrawan semakin terlihat jelas sejak ia memasuki universitas. Dia mulai mencari teman-temannya yang menyenangi sastra dan mempunyai cita-cita menjadi sastrawan seperti Matsuoka Yuzuru, Kikuchi Kan, dan Naruse Seiichi.
Februari 1914 ( 3 Taisho ) bersama Kume Masao, Kikuchi Kan, Matsuoka Yuzuru, dan Naruse Seiichi, Akutagawa menghidupkan kembali majalah Shinshicho dengan menerbitkan Shinshicho edisi III ( edisi I terbit tahun 1907 dan edisi II tahun 1910 ). Majalah itu memuat cerita-cerita pendek terjemahan bahasa Inggris dan Perancis. Walaupun sebenarnya ia sudah biasa menulis sejak SD, pada saat menjadi mahasiswalah ia paling banyak menulis karya sastra termasuk karya pertamanya yang berjudul Ronen (老年 ), di Shinshicho yang diterbitkan bulan Mei. 1915, ia menulis Rashomon ( 羅生門 ) di majalah Teikoku Bungaku ( majalah sastra universitas Tokyo yang lain). Mula-mula cerpen itu tidak dihiraukan masyarakat, tetapi lama kelamaan mulai diperhatikan dan disenangi. Cerpen Rashomon ini diilhami oleh kumpulan cerita Jepang klasik Konjaku Monogatari ( 今昔物語 ).
Saat membuat Rashomon, ia mengalami depresi kegagalan cinta pertama. Ia pernah menyatakan rasa cintanya kepada Yoshi Murachio, seorang pembantu di keluarga Niihara. Dan ia pernah mengirim surat serta mengakui perasaannya, tetapi percintaan itu kandas. Ia sempat pula berkenalan dengan seorang wanita bernama Yoshida Yayoi, lulusan sastra Inggris Universitas Aoyama ( universitas khusus untuk wanita ). Dan kepadanya ia mengutarakan keinginannya untuk menikah, tetapi hal itu gagal karena keluarga Akutagawa tidak setuju, sehingga peristiwa ini meninggalkan luka yang dalam di hatinya.
Desember 1915 ( 4 Taisho ), Akutagawa untuk pertama kalinya menemui novelis besar Jepang yang bernama Natsume Soseki di Minami-cho, Waseda, yang saat itu mengajar di Universitas Tokyo. Pada waktu itu murid-murid Natsume Soseki mengadakan pertemuan Mokuyookai ( 木曜会 ) di rumahnya dan ia sendiri yang memimpinnya. Ketika itu Akutagawa dan Kume Masao diajak salah seorang temannya, mahasiswa jurusan sastra Perancis bernama Okada Kozo ke pertemuan tersebut. Sejak itu Akutagawa menjadi anggota pertemuan tersebut yang diadakan setiap Kamis di rumah Natsume Soseki. Sebenarnya Akutagawa bukanlah pengagum karya Soseki, akan tetapi lama kelaman ia mengakui bahwa Soseki mempunyai daya tarik tersendiri, sehingga semangat mengarangnya semakin tinggi. Dan akhirnya ia mersakan adanya pengaruh pribadi Natsume Soseki terhadap dirinya. Majalah Shinshicho edisi IV pun tidak dapat terbit kalau tidak ada semangat dari Natsume Soseki.
Pada bulan Februari tahun 1916 ( 5 Taisho ), ketika ia berusia 24 tahun, lima anggota Shinshicho, yaitu Kume Masao, Matsuoka Yuzuru, Naruse Seiichi, Kikuchi Kan dan Akutagawa Ryunosuke mempublikasikan sebuah terjemahan mengenai biografi Tolstoy di terbitan majalah Shinshicho edisi IV. Di majalah yang sama, terbit karya terbesar Akutagawa Ryunosuke, Hana (鼻). Soseki sangat memuji cerpen ini dan membuat Akutagawa semakin terkenal di dunia sastra. Semakin lama hasil karyanya semakin baik, dan banyak diminati oleh masyarakat. Majalah-majalah sastra yang lain pun mulai memohon-mohon naskah cerita darinya.
Bulan Juli tahun yang sama, Akutagawa lulus dengan prestasi yang sangat memuaskan. Ia mengambil judul skripsi William Morris No Kenkyuu. Kemudian bulan September ia menerbitkan cerpen berjudul Imogayu ( 芋粥 ), yang sekali lagi mendapat pujian dari Natsume Soseki. Bulan Desember, berkat rekomendasi dari Kuroyanagi Kunitaro ia mendapat kerja paruh waktu di Akademi Angkatan Laut di Yokosuka. Namun sayang sekali, pada bulan yang sama tanggal sembilan, novelis besar Jepang, Natsume Soseki, meninggal dunia. Hal ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi Akutagawa, karena Soseki orang yang sangat dihormatinya, dan paling banyak memberikan semangat dalam penulisan karya-karyanya. Kematian gurunya ini mengilhaminya untuk menulis cerpen Karenosho ( 枯野抄 ).
November 1917 ( 6 Taisho ) Akutagawa terus membangun reputasinya dengan karya-karyanya. Ia menerbitkan beberapa cerita dan mengeluarkan dua koleksi buku, Rashomon, dan Tabako to Akuma ( 煙草と悪魔 ). Ia juga menulis sebuah cerita di koran harian Osaka yang berjudul Gesaku Zanmai ( 戯作三昧 ). Cerpen ini mengangkat kehidupan seorang seniman yaitu Takizawa Bakin, seorang novelis terkenal zaman Edo.
Pada tanggal 2 Februari 1918 ( 7 Taisho ), ketika berumur 26 tahun, Akutagawa menikahi Tsukamoto Fumi. Kemudian pada bulan Maret, ia pindah ke rumah barunya di Azachuji, Omachi, Kamakura. Disanalah ia memulai hidup baru dengan istrinya, dan berkat dorongan istrinya ia menjadi lebih giat lagi dalam hal karang-mengarang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, disamping mengajar di sekolah Angkatan Laut, ia juga menjalin kontrak kerja dengan perusahaan surat kabar harian Osaka dengan gaji 50 yen per bulan. Selain itu ia menerima bayaran untuk cerita yang diterbitkan oleh koran harian Osaka tersebut dan bebas menulis di majalah lain.
Pada tanggal 15 Maret tahun 1919 ( 8 Taisho ), ayah kandung Akutagawa yaitu Niihara Toshizo meninggal dunia karena influenza. Kematian ayahnya ini menyebabkan ia sedih dan susah untuk menerima kenyataan kalau ia sudah tidak mempunyai kedua orangtua lagi, yang tinggal hanyalah kakak perempuannya yang bernama Hisa. Pada bulan ini juga tanggal 31 Maret Akutagawa mengundurkan diri sebagai dosen di Akademi Angkatan Laut dan menjadi karyawan yang bekerja penuh di perusahaan surat kabar harian Osaka dengan gaji 130 yen per bulan, hal tersebut dilakukan untuk menstabilkan kehidupan ekonominya. Dia bekerja di sana dengan syarat tidak wajib masuk kantor setiap hari, tetapi dalam setahun harus dapat mengarang beberapa karya dan tidak boleh mengarang di harian lain.
Pada bulan April Akutagawa pindah dari Kamakura dan kembali ke rumah orangtua angkatnya di Tabato, Tokyo. Di sanalah ia memasuki kehidupan sebagai pengarang sejati dan menghabiskan delapan tahun terakhir hidupnya. Di sela-sela waktunya mengarang, ia membuat haiku, melukis dan membuat syair Cina. Akutagawa banyak menulis puisi dalam berbagai bentuk baik puisi tradisional maupun modern. Mengenai kegemarannya membuat haiku, Akutagawa sangat mengagumi karya-karya Matsuo Basho. Namun ia menegaskan bahwa ia masih tetap seorang penulis fiksi sejati.
Ryūnosuke Akutagawa sebagai tokoh dalam serial anime Bungou Stray Dogs
Di dalam hidupnya Akutagawa mempunyai sifat yang selalu tidak puas terhadap dirinya sendiri baik dalam bidang sastra maupun dalam hidupnya, demikian pula dengan keadaan lingkungannya. Sehingga ia berusaha terus menerus untuk menghasilkan karya sastra yang lebih baik lagi, yang akhirnya menjadikan ia seorang sastrawan terkenal.
Akutagawa juga melakukan perjalanan bersama Kikuchi Kan ke Nagasaki karena tugas kerja dari harian Osaka. Ia sangat menyukai perjalanan ini. Kota ini pula yang menjadi latar belakang cerpen Hokyoonin No Shi ( 奉教 の 死 ), yang merupakan percampuran antara kebudayaan timur dan barat yang selalu membangkitkan kerinduan dalam hati Akutagawa. Di kota ini pula untuk pertama kalinya ia mengenal seorang pelukis bernama Oana Ryuichi yang kelak menjadi sahabatnya. Pada bulan Agustus koleksi cerita pertamanya dicetak lagi dan ia menerbitkan koleksi cerita yang ketiga berjudul Kairaishi.
Pada bulan Januari tahun 1920 ( 9 Taisho) koleksi cerpen keempat berjudul Kagedoro diterbitkan. Pada tanggal 10 April anak laki-laki pertama Akutagawa lehir dan diberi nama Akutagawa Hiroshi. Kelahiran anaknya itu tidak disambut gembira tetapi disambut dengan perasaan bingung. Karena Akutagawa berpikir kedaan ekonominya belum mapan dan kehidupannya selalu berdekatan dengan kesusahan. Sehingga ia merasa untuk apa manusia dilahirkan ke dunia terus menerus, sedangkan yang sudah hidup pun susah untuk mempertahankan kehidupannya, karena di dunia ini penuh dengan kesusahan hidup. Jadi dia merasa kasihan kepada anaknya yang baru lahir itu akan mengalami kesusahan di dalam hidupnya. Hal itu terpikirkan olehnya karena sifat pesimis yang dimilikinya tenatang masa yang akan datang. Pada tahun yang sama pula ia mulai banyak diundang untuk memberikan kuliah kesusastraan di daerah Kyoto dan Osaka bersama dengan teman-temannya yaitu Kume Masao, Uno Koji, dan Kikuchi Kan.
Pada akhir bulan Maret 1921 ( 10 Taisho ) dia pergi ke daratan Cina sebagai anggota Tim Peninjau Luar Negeri, yang dikirim oleh Harian Osaka. Tetapi setibanya di Shanghai dia menderita radang selaput paru-paru sehingga ia harus dirawat di RS Satomi di Shanghai selama tiga minggu. Setelah sembuh ia melanjutkan perjalanannya dari Shanghai ke Kooshuu, Seiko, Shoshuu, Yooshuu, dan Nankin. Di Hongkong tinggal selama satu minggu, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke arah utara. Pada tanggal 14 Juni tiba di Peking melalui Rakuyo. Akhirnya pada bulan Juli ia kembali ke Jepang melalui jalur kereta api Nanman dan Korea. Perjalanan ke negara Cina itu dilakukan selama empat bulan. Di sana ia meninjau tempat pertemuan pada siang hari sampai sore hari dan mulai menderita beberapa penyakit seperti radang perut, wasir, dan gangguan urat syaraf karena mengalami ketegangan terus menerus. Pada tanggal 1 Oktober tahun yang sama, ia beserta Shutaro Nanbu pergi ke penginapan Nakanishi di Yuugawara propinsi Kanagawa untuk beristirahat selama tiga minggu. Tetapi gangguan syarafnya tidak menjadi baik sedikitpun, bahkan setelah pulang dari Yuugawara penyakitnya semakin kronis.
Pada November tahun1922 ( 11 Taisho ) anak laki-laki Akutagawa yang kedua yaitu Akutagawa Takashi lahir. Sejak itu kesehatan Akutagawa menjadi sangat lemah karena gangguan urat syaraf, kejang perut, radang usus, dan serangan jantung. Untuk memulihkan kesehatannya pada tanggal 16 Maret sampai pertengahan April, Akutagawa pergi kembali ke Yuugawara untuk beristirahat dan menginap di penginapan Nakanishi. Kegiatan kesusastraannya pun menjadi menurun, sehingga ia terpaksa menolak menulis naskah lagi pada penerbitan tahunberikutnya di Harian Osaka, tetapi ia masih menulis untuk beberapa majalah. Karya-karya yang dihasilkannya semakin menurun dibandingkan di awal karirnya. Tema-tema karyanya pun sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Nada-nada melankolispun mulai mewarnai karya-karyanya dengan menulis tentang keadaan hidupnya.
Pada bulan Mei tahun 1923 ( 12 Taisho ) ia menulis cerpen Yasukichi No Techoo Kara (保吉の手帳から) yang diterbitkan majalah Kaizo. Ini adalah salah satu karya yang termasuk dalam rangkaian karya-karyanya yang bersifat otobiografi. Dengan sudut pandang “aku” , Akutagawa bercerita tentang pengalamannya pada saat ia bekerja sebagai pengajar di Angkatan Laut. Pada bulan September terjadi gempa bumi dahsyat yang mengguncangkan Tokyo dan Yokohama. Gempa ini telah menelan korban 1000 orang. Akutagawa dan keluarganya berhasil meloloskan diri. Rumah mereka tidak mengalami kerusakan yang berarti, namun, kematian orang-orang dan kerusakan yang dialami kota Tokyo tidak bisa hilang dari ingatannya. Ia sedih sekali karena barang-barang peninggalan kesenian zaman dahulu pun ikut rusak.
Pada musim panas tahun 1924 ( 13 Taisho ) Ia pergi berlibur ke Karuizawa dan menginap di penginapan Tsuruya. Ia membuat karyanya yang berjudul Aru Aho No Issho ( 或 阿呆 の 一生 ) . Cerpen ini terdiri dari 51 bagian yang ditulis seperti buku harian yang menceritakan kehidupan Akutagawa sebagai seniman dan kehidupannya sebagai manusia. Ia pun mulai tertarik membaca buku-buku yang bertemakan sosialisme. Ia membaca biografi seorang sosialis Rusia, Karl Marx.
Pada tanggal 12 Juli 1925 ( 14 Taisho ) anak laki-laki ketiga lahir, yang diberi nama Akutagawa Yasushi, jadi semua anaknya laki-laki. Akutagawa semakin bingung saja dengan kelahiran anaknya ini, karena kesehatannya yang semakin menurun dan keadaan keuangannya pun menjadi tak menentu karena keuangannya selalu terhambat. Ketika itu ia baru saja menyelesaikan karyanya yang terdiri dari lima jilid buku yang dikerjakannya dalam waktu yang cukup lama yaitu selama tiga tahun. Karya itu diberi judul Yasukichi Series yang ia buat sejak tahun 1922. Untuk menyelesaikan karya itu memakan waktu dan menguras tenaganya, akan tetapi honor yang ia terima tidak seimbang dengan kerja kerasnya. Sehingga timbul desas-desus di kalangan penulis tentang masalah keuangan Akutagawa, hal ini sangat mengganggu pikirannya yang akhirnya menimbulkan beban yang berat baginya.
Bulan April tahun 1926 ( 15 Taisho ) ketika berusia 34 tahun, Akutagawa bersama istri dan anak laki-lakinya yang ketiga pergi ke pantai Kugenuma di propinsi Kanagawa dan menginap di hotel Azumaya. Ia pergi ke tempat itu untuk pemulihan kesehatannya, karena saat itu keadaan kesehatan Akutagawa semakin buruk akibat penyakit insomnia ( penyakit susah tidur ) yang semakin parah. Akan tetapi perkembanagan kesehatannya tidak membaik, malahan insomnianya semakin berat dan sejak itu mulai terlihat adanya gejala schizophrenia. Ia menjadi sering melamun atau berkhayal serta melihat bayangan seperti suatu kenyataan. Hal ini terjadi karena selama hidupnya Akutagawa banyak meikirkan masalah-masalah berat, seperti memikirkan keadaan penyakitnya, keluarganya, ingin menghasilkan karya-karya yang bermutu, dan sebagainya. Semua itu menjadi masalah yang sangat rumit yang susah untuk dipecahkannya. Ia takut sekali tertulari penyakit sakit ingatan ibunya yang terus menghantui pikirannya. Ketika sedang berperang dengan penyakitnya ini Akutagawa menulis cerpen Tenkibo (点鬼簿) yang isinya menggambarkan keadaan ibunya yang mengidap sakit ingatan.
Poster film Rashomon tahun 1950 yang disutradarai oleh Akira Kurosawa
Menurut penuturan istri Akutagawa, selain melihat bayangan yang tak sesuai dengan kenyataan, ia juga mulai percaya bahwa perbuatannya telah dikontrol oleh kekuatan yang ada di luar dirinya. Akutagawa selalu membiarkan kamarnya gelap dan berusaha memastikan kedatangan dan kepergiannya pada malam hari. Kalau ia berbaring di kamar, ia takut sekali kalau dinding kamarnya akan jatuh menimpa dirinya. Ia juga menderita sakit kepala yang hebat yang diikuti dengan lampu-lampu yang bergerak di depan matanya yang ia gambarkan sebagai haguruma. Efeknya menurut Akutagawa seperti melihat melaui pecahan kaca. Kalau kondisi kesehatannya sedang memburuk, Akutagawa hanya menemukan ketenangan dengan meminum obat tidur. Ia mengonsumsi obat tidur bukan hanya untuk mengobati insomnianya, tapi juga sebagai pelarian dari rasa takutnya akan bayang-bayang. Dosis obat yang diminumnya semakin hari semakin bertambah, tanpa mempedulikan efek samping yang dapat menyiksa dirinya. Ia juga mulai mengkonsumsi opium. Setelah pulang dari Kanagawa, Akutagawa langsung berkunjung ke apartemen Oana Ryuichi di Koishigawa, ia mengatakan pada Oana tekadnya untuk bunuh diri. Segala penderitaannya yang ia rasakan ia tuangkan dalam sebuah masterpiece yang berjudul Haguruma (歯車 ).
Banyak sekali teman-temannya yang merasa prihatin pada Akutagawa, mereka berkunjung secara bergantian untuk mebesarkan hatinya. Akan tetapi Akutagawa sudah menyadari bahwa kematiannya semakin dekat. Dan ia berterus terang kepada kepala Rumah Sakit Jiwa Aoyama, Saito Mokichi, yang juga seorang penyair, tentang kehidupannya yang selalu dengan kesulitan hidup dan berbagai macam penyakit.
Pada tanggal 4 Januari 1927 ( 2 Showa ) rumah Nishikawa Yutaka, suami kakak perempuan Akutagawa yang bernama Hisa, terbakar. Dua hari setelah kejadian tersebut, Nishikawa melakukan bunuh diri di sekitar terowongan Toke di Shabu-gun propinsi Chiba. Hal itu dilakukannya karena ia tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya, yaitu ia dicurigai sebagai pelaku pembakaran rumahnya yang telah diasuransikan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dari asuransi tersebut. Kejadian bunuh diri ini dimuat di surat kabar secara besar-besaran. Karena itu Akutagawa harus menyelesaikan persoalan kakaknya baik masalah kebakaran rumahnya maupun masalah keuangan keluarganya, tanpa menghiraukan kesehatannya yang semakin lemah. Ia pun berkata, " Ketidak beruntungan telah menimpa keluarga saya. Tidak berdaya. Sekarang saya sedang berusaha keras untuk menyelesaikan segalanya." Karena beban yang dipikulnya semakin berat ditambah dengan kondisi kesehatannya yang semakin parah, ia berkata "Segala masalah, segala kesulitan, dan segala kekhawatiran ada di tangan saya. Di kehidupan yang akan datang saya berharap lahir menjadi butiran pasir. " Keadaan itu berlangsung kira-kira satu bulan setengah yaitu sampai pertengahan bulan Februari. Akutagawa pun memikirkan bagaimana kalau jalan terakhir yang dilakukan kakak iparnya yaitu bunuh diri terjadi pada dirinya. Pada tanggal 7 April teman baiknya, Uno Koji, menjadi sakit ingatan. Hal ini merupakan pukulan yang sangat hebat baginya, dan ia mulai menyadari bahwa dirinya pun akan berubah menjadi seperti temannya. Setelah itu ia mulai berusaha mendekatkan diri pada Yesus Kristus dengan membaca kitab Injil. Ia mencoba mencari kedamaian dan ketenangan atas segala persoalan hidupnya dengan menjalankan perintahNya, namun hal tersebut tidak terlaksana. Karena pada tanggal 24 Juli dini hari Akutagawa bunuh diri dengan minum obat tidur kalium cyanid dalam dosis yang tinggi. Dia meninggal di rumah orangtua angkatnya di Tabata, Tokyo di usia 35 tahun.
Pada tanggal 27 Juli 1927 ( 2 Showa ) jam tiga sore upacara pemakaman diadakan di tempat kebaktian agama Taninaka. Ucapan turut berduka cita yang dibacakan oleh Kikuchi Kan sebagai wakil dari teman-teman seangkatannya mebuat suasana menjadi sangat mengharukan. Kikuchi Kan berkata, " Kita tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa tentang kematiannya, karena Ryunosuke sendiri yang telah memilih dan menetapkan cara kematiannya. Hanya kita telah lega karena melihat sinar yang damai di mukanya, semoga saudara kita ini dapat tidur dengan tenang dan selamat." Kemudian setelah upacara selesai jenazahnya dikuburkan di kuil Jigen Somei, Tokyo.
Karya tulisan Ryūnosuke Akutagawa
Ronen (1914)
Rashomon (1915)
Hana (1916)
Imogayu (1916)
Tabako to Akuma (1916)
Gesakuzanmai (1917)
Kumo no Ito (1918)
Jigokuhen (1918)
Jashumon (1918)
Majutsu (1919)
Mikan (1919)
Nannkin no Kirisuto (1920)
Butokai (1920)
Aki (1920)
Toshisun (1920)
Aguni no Kami (1920)
Yabu no Naka (1921)
Torokko (1922)
Uogashi (1922)
Hina (1923)
Soseki Sambo no Fuyu (1923)
Hitokure no Tsuchi (1923)
Ababababa (1923)
Daidoji Shinsuke no Hansai (1925)
Genkakusambo (1927)
Shuju no Kotoba (1927)
Bungeiteki na, amarini Bungeiteki na (1927)
Kappa (1927)
Haguruma (1927)
Aru Aho no Issho (1927)
Saiho ni Hito (1927)
Deskripsi singkat mengenai beberapa karya terkenal Ryūnosuke Akutagawa
羅生門 (Rashomon) 1915
Cerpen “Rashomon” merupakan sebuah cerpen yang sangat sederhana, namun penuh dengan emosi. Cerita ini mengambil latar suasana kota Kyoto yang bertambah sepi usai didera bencana beruntun mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karenanya Kyoto jadi senyap dan porak-poranda.Rashomon sendiri sering dikaitkan dengan Rajomon yaitu pintu gerbang pada zaman Heian (794-1185), sekarang terletak di Perfektur (daerah setingkat provinsi) Nara.Mon berarti gerbang.Ketika itu, ibukota Jepang terletak di Nara.
Cerpen ini bercerita tentang seorang genin (bekas samurai rendahan) yang berteduh dari hujan di sebuah gerbang tua bernama Gerbang Rasho (mon artinya gerbang). Rashomon merupakan gerbang tua yang hancur, tempat mayat-mayat dibuang dan dianggap angker. Genin tersebut memutuskan untuk menjadi pencuri karena ia tidak memiliki pekerjaan. Namun, saat ia memeriksa gerbang tersebut, di lantai dua terdapat seorang nenek yang sedang mencuri rambut dari sesosok mayat perempuan. Genin tersebut marah dan rasa keadilannya muncul dalam sekejap, hendak menghukum sang nenek. Nenek itu berkata bahwa perempuan yang ia curi rambutnya saat masih hidup juga merupakan seorang yang jahat, jadi tidak ada salahnya mengambil dari perempuan itu. Dalam beberapa detik, naluri keadilannya hilang lagi, dan ia pun merampas baju si nenek, berdalih dengan alasan yang sama dengan si nenek.
蜘蛛の糸 (Kumo no Ito) 1912
Cerita ironis tentang seorang penjahat kambuhan, yang terlanjur disiksa di dalam neraka mendapatkan kebaikan dari Sang Buddha untuk masuk surga karena pernah menyelamatkan seekor laba-laba. Namun, karena keserakahan dan ketamakannya, benang laba-laba yang diulurkan Sang Buddha untuk membantunya masuk surga malah terputus sehingga ia kembali ke dasar neraka.
Melalui cerita ini, Akutagawa menceritakan kisah yang sederhana namun sarat makna dengan perumpamaan yang sederhana.Memberi kita pelajaran untuk senantiasa berusaha memanfaatkan kesempatan-kesempatan baik untuk berbuat tetapi dengan tidak serakah dan egois.
鼻 (Hana) 1916
Bagaimanakah perasaan anda bila memiliki hidung yang menjuntai hingga 16 cm dan mengganggu anda untuk makan.Kiranya, hal ini adalah tema utama dari cerita Hana (hidung).Seorang pendeta, Naigu, harus hidup dengan hidung yang panjang seperti itu.Dalam hidupnya, Naigu mengalami ketidakbahagiaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, dengan bentuk hidungnya yang seperti itu. Ketika perasaan seperti itu muncul, Naigu selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dengan bentuk hidung yang normal. Pada suatu waktu Naigu berhasil melakukan perubahan dengan hidungnya. Naigu senang karena ia bisa hidup dengan wajar tapi petaka itu justru baru dimulai. Naigu mulai merasa tidak bahagia dengan hidungnya yang baru.Kebahagiaan yang jadi tujuannya pun tidak tercapai.
Dari cerita ini, Akutagawa memainkan ide dan makna eksistensial dari seseorang dalam lingkungannya.Betapa kita hanya bisa jadi ada dan dianggap ada bila kita memang diterima oleh lingkungan kehidupan sehari-hari. Wujud penghargaan dari orang lain itulah yang sering kita anggap sumber kebahagiaan.
Akutagawa, melalui cerpen ini, mengajarkan kita untuk senantiasa berbahagia dengan apa yang kita miliki saja. Namun, nafsu manusia seakan tidak berhenti untuk mencapai suatu kebahagiaan lain dan pada akhirnya tidak mendatangkan kebahagiaan apapun. Seringkali, berubah menjadi kesengsaraan.Betapa tipis dan rapuhnya jurang pemisah antara bahagia dan sengsara.
芋粥 (Imogayu) 1916
Bercerita tentang seorang Goi (samurai kelas terendah pada zaman Heian).Goi mengalami berbagai penghinaan dalam seluruh hidupnya sebagai seorang samurai, bahkan ketika sedang makan Imogayu (bubur ubi) sekalipun.Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan tuannya, Goi mendapatkan kesempatan untuk makan bubur ubi sepuasnya. Dengan rasa bahagianya itu ia bias melupakan masa lalunya yang penuh penghinaan.
Cerita ini menyiratkan moral tentang kriteria-kriteria seperti apa yang membuat seseorang layak dihina atau dipermalukan. Seorang samurai yang hidup dalam kelas masyarakat tersendiri pun masih dapat diperlakukan tidak layak bahkan oleh orang-orang diluar kelasnya.Akutagawa, dalam hal ini berhasil menceritakan dan menggambarkan bagaimana masih rapuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita terhadap sesama.
Cerita ini menyiratkan moral tentang kriteria-kriteria seperti apa yang membuat seseorang layak dihina atau dipermalukan. Seorang samurai yang hidup dalam kelas masyarakat tersendiri pun masih dapat diperlakukan tidak layak bahkan oleh orang-orang diluar kelasnya.Akutagawa, dalam hal ini berhasil menceritakan dan menggambarkan bagaimana masih rapuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita terhadap sesama.
藪の中 (Yabu no Naka) 1921
Akutagawa bercerita tentang kisah tragis pasangan suami istri yang jadi sasaran pembunuh.Cerpen ini berisi berbagai monolog beberapa tokoh dalam sebuah pengadilan. Terdapat tujuh tokoh yang melakukan kesaksian, yaitu Penebang Kayu, Pendeta pengembara, Polisi bekas penjahat, Perempuan Tua mertua Takehiro, Tajomaru, isteri Takehiro, dan seorang dukun Shinto perempuan yang menjadi medium roh Takehiro.
Ketujuh tokoh ini menceritakan sebuah kejadian dari sudut pandang yang berbeda-beda.Dari ketujuh kesaksian itu, terdapat tiga kesaksian yang berkaitan dengan sebuah kejadian, yaitu pemerkosaan terhadap isteri Takehiro dan pembunuhan terhadap Takehiro.Sedangkan keempat kesaksian lainnya tidak berkaitan langsung dengan kejadian tersebut, kecuali kesaksian Penebang Kayu yang agak janggal. Pembahasan mengenai kejanggalan ini akan diuraikan di bawah. Ketiga kesaksian utama, yaitu kesaksian Tajomaru, isteri Takehiro, dan Takehiro sendiri, Takehiro, lewat seorang medium memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai sebuah kebenaran: pembunuhan Takehiro dan siapa pelakunya. Anehnya, ketiganya mengakui bahwa mereka lah yang membunuh Takehiro, bahkan Takehiro mengaku melalui medium bahwa ia melakukan bunuh diri.
Akutagawa tidak memaksakan dan menggiring pembaca pada satu kesimpulan. Akutagawa berhasil memainkan plot cerita dengan keterangan yang beragam dari saksi-saksi sehingga kita dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri. Inilah karya sastra yang baik dimana kita sebagai pembaca dibiarkan menarik kesimpulan dan memiliki penilaian masing-masing terhadapnya.Dalam cerita ini juga, Akutagawa mengangkat nilai-nilai kehormatan sebagai bagian dari budaya tinggi Jepang seperti budaya tinggi Samurai.
河童 (Kappa) 1927
Kappa bercerita tentang seorang manusia yang tidak sengaja masuk ke dalam dunia bangsa Kappa dalam perjalanan pendakiannya ke Gunung Hodaka.Kappa merupakan sosok binatang dalam imajinasi Akutagawa.Menurut penulis, Kappa sendiri digambarkan sebagai makhluk yang memiliki tinggi kira-kira satu meter. Rambut pendek, tangan dan kakinya berjari.Di atas kepalanya terdapat lekukan cekung yang berisi sedikit air. Sebelum Kappa kehilangan air di atas kepalanya, ia lebih kuat dari laki-laki yang paling perkasa sekalipun. Kappa hidup di air, biasa keluar di malam hari untuk mencuri semangka, apel, dan hasil ladang lainnya.Kulitnya yang licin membuat kappa sulit ditangkap.
Kappa digambarkan sebagai makhluk yang mempunyai peradaban kehidupan mirip dengan manusia. Akutagawa dengan sangat fantastis, imajinatif, dan detail menceritakan perjalanan tokoh aku dalam suasana kehidupan sehari-hari bangsa Kappa.Imajinasi yang kaya dan liar dalam cerpen.
Dari beberapa sasaran yang telah disebutkan tadi, hal yang menurut saya paling menarik untuk dikaji adalah tentang sensor atas seni dan tindakan bunuh diri yang sudah akrab dalam keseharian masyarakat Jepang.
"seni hanya untuk seni", dan tidak seharusnya seni dikendalikan oleh siapa pun, termasuk pemerintah.Ketika seni atau yang lainnya tidak bisa lagi menyelamatkannya dari "kelelahan", maka bunuh diri akhirnya menjadi jalan yang menurut mereka terbaik. "Ini adalah kutipan dari Mignon-nya Gothe. Dengan kata lain, bunuh diri Tok berarti bahwa dia menyadari dirinya sebagai seorang penyair jenius puitisnya sudah lelah." (Kappa, Hal: 87)
Sumber:
Sumber Foto: